Iklan

 


Clash Of Civilization: Ketika Globalisasi Menjadi Ancaman Oleh. Dr. Sofiandi, Lc.,MHI

Rabu, 21 Juni 2023, Juni 21, 2023 WIB Last Updated 2023-06-22T03:47:30Z
masukkan script iklan disini
masukkan script iklan disini

 Clash Of Civilization: Ketika Globalisasi Menjadi Ancaman

Oleh. Dr. Sofiandi, Lc.,MHI



Di era modern yang semakin terhubung secara lintas batas, globalisasi telah menjadi kekuatan yang mendominasi dunia. Melalui kemajuan teknologi, perdagangan internasional, dan arus informasi yang tak terbendung, batasan geografis semakin memudar. Namun, di balik keuntungan dan kemajuan yang ditawarkan oleh globalisasi, terdapat ancaman yang tidak bisa diabaikan. Salah satu ancaman tersebut adalah "clash of civilization" atau benturan antar peradaban. Konflik dan ketegangan antarbudaya semakin meningkat seiring dengan proses globalisasi yang terus berlanjut. Saya mencoba untuk mengeksplorasi bagaimana kemudian globalisasi menjadi sumber ketegangan budaya dan menciptakan konflik antarbudaya dalam masyarakat global yang semakin terhubung.

Dalam konteks ini, "clash of civilization" merujuk pada benturan antara berbagai identitas budaya, agama, dan kepentingan system-sistem yang ada di seluruh dunia. Samuel P. Huntington, seorang ilmuwan politik terkenal, secara khusus mengemukakan gagasan "clash of civilizations" dalam bukunya yang berjudul "The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order". Huntington berpendapat bahwa dalam era globalisasi, konflik antarbudaya menjadi semakin signifikan dan dapat menjadi sumber konflik global. Sistem baku yang selama ini dianut akan secara pasti bergeser kepada tatanan dunia baru yang dianggap akan lebih mampu menjawab tantangan keterbelakangan, kemiskinan dan ketidakberdayaan.

Globalisasi yang tak terhindarkan saat ini justru membawa interaksi yang lebih intens antara peradaban yang berbeda, bahkan juga memperkuat polarisasi dan perbedaan yang ada. Dalam teori Arjun Appadurai, seorang antropolog dan sosial teoretis, globalisasi telah menciptakan "landscapes of cultural diversity" di mana keberagaman budaya dan identitas muncul. Namun, dibalik itu, ia juga mengakui bahwa dalam proses tersebut terjadi ketegangan antara kepentingan global dan lokal, yang dapat mengarah pada konflik antarbudaya.

Pertanyaannya adalah, mengapa globalisasi, yang pada awalnya diharapkan membawa perdamaian dan pemahaman antarbudaya, justru menjadi sumber ketegangan dan konflik? Apakah globalisasi merusak jati diri budaya lokal dan tradisi yang telah ada sejak lama, ataukah ia mendorong munculnya gerakan ekstremisme dan radikalisasi?

Di sini kita akan melihat bagaimana agama dan identitas budaya memainkan peran penting dalam meningkatnya ketegangan antarbudaya dalam era globalisasi. Selain itu, kita juga akan menganalisis peran media massa dan teknologi informasi yang semakin berkembang dalam memperkuat konflik antarbudaya. Faktor ekonomi juga tidak bisa diabaikan, karena globalisasi ekonomi telah mengubah lanskap politik dan sosial di berbagai belahan dunia. Selain itu, penting untuk mencari solusi dan upaya yang dapat dilakukan oleh negara dan masyarakat internasional untuk mengatasi konflik antarbudaya dalam era globalisasi.

Perlu diakui bahwa globalisasi telah menciptakan tantangan dan peluang baru dalam memahami dan mengatasi konflik antarbudaya. Paling tidak, pada awalnya, ia telah membuka pintu bagi komunikasi dan interaksi yang lebih intensif antarbudaya. Perkembangan teknologi informasi, transportasi yang lebih cepat, serta kemajuan dalam media massa telah menghubungkan masyarakat dari berbagai belahan dunia.

Hal ini tentunya membuka peluang untuk pertukaran ide, nilai, dan budaya antarindividu dan kelompok. Pertemuan budaya ini dapat memperkaya pemahaman kita tentang keberagaman manusia, mengurangi ketidaktahuan, dan memperluas wawasan kita. Melalui perdagangan internasional, pariwisata, dan pertukaran pendidikan, globalisasi telah memungkinkan manusia untuk berinteraksi dan membangun hubungan harmonis di antara budaya yang berbeda.

Akan tetapi di sisi lain, kenyataan juga mengisaratkan kekhawatiran yang tidak terelakkan. Dalam hal ini, Kwame Anthony Appiah mengilustrasikan bahwa sekalipun  globalisasi telah membawa budaya-budaya bersama dalam interaksi yang lebih intensif, hal itu juga memunculkan perasaan takut terhadap hilangnya identitas budaya. Konflik antarbudaya terjadi ketika masyarakat merasa terancam oleh pengaruh asing yang dianggap mengancam warisan budaya mereka. Globalisasi ekonomi telah memberikan kekuatan kepada korporasi multinasional yang sering kali mengabaikan nilai-nilai budaya lokal dalam upaya mencapai keuntungan finansial.

Hal ini, menurut Prof. Benjamin Barber, dapat menciptakan ketidakpuasan sosial dan meningkatkan ketegangan antara budaya lokal dan global. Ketika budaya lokal menghadapi penetrasi budaya global yang dominan, timbul ketakutan akan hilangnya identitas budaya. Masyarakat merasa terancam oleh pengaruh asing yang dianggap mengancam warisan budaya mereka. Hal ini dapat menciptakan ketegangan antara kelompok budaya yang berbeda dan memicu konflik antarbudaya.

Hal ini bukan hanya sekedar isapan jempol namun nyata terjadi di tengah kehidupan berbangsa kita. Misalnya, di beberapa daerah di Indonesia, ada kekhawatiran bahwa pertunjukan budaya lokal yang telah dimodifikasi secara signifikan untuk menarik wisatawan asing telah merusak integritas budaya asli dan mengabaikan praktik dan nilai-nilai budaya yang sebenarnya. Masyarakat lokal merasa terancam oleh pengaruh budaya asing yang masuk secara massal dan mengubah tradisi mereka. Hal ini kemudian menciptakan ketegangan antara kelompok budaya lokal dan pihak-pihak yang terlibat dalam industri pariwisata, termasuk perusahaan-perusahaan multinasional yang beroperasi di sektor ini.

Selain itu, pengaruh globalisasi ekonomi juga terlihat dalam industri makanan dan minuman di Indonesia. Di era globalisasi, makanan cepat saji dan merek-merek minuman internasional semakin mendominasi pasar. Hal ini mengakibatkan pergeseran pola konsumsi masyarakat, dengan meningkatnya preferensi terhadap makanan dan minuman asing. Di sisi lain, warung makan tradisional dan kuliner lokal seringkali terpinggirkan dan menghadapi tantangan dalam mempertahankan eksistensinya.

Pengaruh globalisasi globalisasi juga dapat memperkuat kesadaran etnis dan agama, yang pada gilirannya dapat memicu konflik antarbudaya. Globalisasi telah memungkinkan kelompok-kelompok budaya yang sebelumnya terisolasi untuk terhubung dan saling berorganisasi dalam mencapai tujuan bersama. Namun, dalam beberapa kasus, hal ini juga dapat menyebabkan perpecahan dan konflik antarbudaya. Identitas budaya yang diperkuat dalam konteks globalisasi dapat menghasilkan gerakan nasionalis dan agama fundamentalis yang menekankan perbedaan dan menolak integrasi budaya. Konflik antarbudaya sering kali dipicu oleh persaingan atas sumber daya dan kekuasaan politik yang diwarnai oleh perbedaan identitas dan nilai budaya.

Pada tatanan yang lebih luas, globalisasi juga memberikan dampak pada konflik antarbudaya melalui isu-isu global yang kompleks seperti ketidaksetaraan ekonomi, perubahan iklim, dan migrasi. Perbedaan budaya dan identitas dapat menjadi faktor yang memicu konflik dalam hal ini. Ketidaksetaraan ekonomi yang dihasilkan dari globalisasi dapat memperkuat ketegangan antara kelompok-kelompok budaya yang berbeda, sementara perubahan iklim dan migrasi dapat menciptakan konflik antarbudaya yang timbul dari persaingan sumber daya dan pertentangan atas identitas nasional atau etnis.

Salah satu contoh faktual yang dapat disebutkan adalah ketimpangan ekonomi antara daerah perkotaan dan daerah pedesaan.

Dalam era globalisasi, perkembangan ekonomi yang pesat terutama terjadi di kota-kota besar dan pusat-pusat industri. Investasi asing dan perusahaan multinasional cenderung berkumpul di daerah perkotaan, menciptakan peluang kerja dan pertumbuhan ekonomi yang signifikan di wilayah tersebut. Sementara itu, di pedesaan, tingkat pembangunan ekonomi seringkali lebih lambat dan akses terhadap kesempatan kerja dan infrastruktur yang memadai terbatas.

Akibatnya, kesenjangan ekonomi antara perkotaan dan pedesaan semakin melebar. Pendapatan dan kemakmuran yang dihasilkan dari pertumbuhan ekonomi global lebih banyak terkonsentrasi di kota-kota besar, sedangkan penduduk di pedesaan menghadapi tantangan ekonomi yang lebih berat. Ketimpangan ekonomi ini dapat menciptakan ketidakpuasan sosial dan ketegangan antarbudaya.

Perkembangan media massa dan teknologi informasi yang pesat dalam beberapa dekade terakhir telah memiliki dampak yang signifikan dalam memperkuat konflik antarbudaya. Meskipun harus diakui bahwa media massa dan teknologi informasi juga memiliki potensi sebagai sarana untuk mempromosikan pemahaman dan perdamaian antarbudaya. Media massa dapat menjadi platform untuk menggambarkan keragaman budaya, menginspirasi kolaborasi antarbudaya, dan memberikan ruang bagi narasi yang memperkuat toleransi dan inklusivitas. Begitu pula dengan teknologi informasi, melalui penggunaan yang bijaksana dan tanggap, dapat digunakan sebagai sarana untuk menghubungkan individu dari berbagai budaya, saling berbagi cerita dan pengalaman, dan membangun jaringan yang melintasi batas-batas budaya.

Namun, tidak dipungkiri juga bahwa pada gilirannya, media massa, termasuk televisi, surat kabar, dan radio, memiliki kekuatan untuk memengaruhi persepsi dan pandangan masyarakat terhadap kelompok budaya tertentu. Media massa seringkali menyoroti perbedaan budaya sebagai sumber konflik dan menekankan narasi yang memperkuat stereotip dan prasangka negatif antarbudaya. Misalnya, berita yang menggambarkan aksi kekerasan atau bentrokan antarbudaya cenderung menjadi headline dan diberikan pemberitaan yang luas, sementara kerjasama dan dialog antarbudaya yang harmonis seringkali kurang mendapat perhatian yang sama. Hal ini dapat menciptakan persepsi yang salah dan meningkatkan ketegangan antarbudaya.

Ditambah lagi bahwa teknologi informasi, terutama internet dan media sosial, telah mempercepat dan memperluas jangkauan informasi dan interaksi antarbudaya. Meskipun, sekali lagi, ini dapat menjadi sarana positif untuk mempromosikan pemahaman dan dialog antarbudaya, teknologi informasi juga memberikan ruang yang lebih besar bagi penyebaran propaganda, disinformasi, dan retorika yang memecah-belah. Misalnya, melalui media sosial, individu dapat dengan mudah mengungkapkan pendapat dan pandangan mereka, yang dalam beberapa kasus dapat berisi prasangka, kebencian, atau diskriminasi terhadap kelompok budaya lain. Hasutan dan provokasi yang dilakukan melalui teknologi informasi dapat memperkuat konflik antarbudaya dengan memicu reaksi emosional dan memperdalam kesenjangan pemahaman antara kelompok budaya yang berbeda.

Selain itu, fenomena "filter bubble" juga menjadi faktor yang memperkuat konflik antarbudaya melalui media massa dan teknologi informasi. Filter bubble mengacu pada fenomena di mana individu cenderung terpapar hanya pada pandangan dan informasi yang sesuai dengan keyakinan dan preferensi mereka sendiri. Dalam konteks konflik antarbudaya, hal ini berarti individu dapat terjebak dalam lingkaran informasi yang memperkuat pandangan negatif dan stereotip terhadap kelompok budaya lain, sementara informasi yang mencoba untuk mempromosikan pemahaman dan toleransi diabaikan atau dihindari. Hal ini dapat memperkuat polarisasi budaya dan mempersulit terciptanya dialog yang konstruktif antara kelompok budaya yang berbeda.

Lantas, kita harus bagaimana? Untuk mengurangi konflik antarbudaya yang diperkuat oleh media massa dan teknologi informasi, perlu adanya kesadaran dan tindakan yang bertanggung jawab dari pihak media, pengguna teknologi informasi, dan pemerintah. Media massa harus berkomitmen untuk memberikan representasi yang akurat dan seimbang mengenai kelompok budaya yang berbeda, serta menghindari pemberitaan yang memperkuat prasangka dan stereotip negatif. Pengguna teknologi informasi juga harus menjadi konsumen yang kritis terhadap informasi yang mereka terima dan berkontribusi pada lingkungan daring yang inklusif dan bermartabat. Pemerintah dapat mengambil peran dalam mengatur dan mengawasi konten media dan informasi, serta mempromosikan pendidikan dan kesadaran yang melibatkan semua pihak dalam membangun pemahaman dan toleransi antarbudaya.

Di sinilah pentingnya usaha mempromosikan pendekatan yang inklusif dan saling memahami dalam upaya menghadapi dampak globalisasi terhadap konflik antar budaya di era modern. Pertukaran budaya yang lebih terbuka dan dialog antarbudaya yang intensif dapat membantu meredakan ketegangan dan membangun pemahaman yang lebih baik. Selain itu, penting juga untuk mengakui keberagaman budaya sebagai kekayaan dan sumber daya yang harus dihormati dan dilestarikan. Upaya bersama dalam membangun masyarakat global yang inklusif dan harmonis adalah kunci untuk mengatasi konflik antarbudaya yang muncul dalam era globalisasi ini.

Komentar

Tampilkan

Terkini