Di era digital saat ini, semakin banyak pejabat publik yang menyampaikan program, kegiatan, atau pandangan mereka melalui media sosial pribadi, ketimbang lewat media massa konvensional. Fenomena ini terjadi di berbagai tingkat, dari pemerintah daerah hingga pusat. Pertanyaannya, apakah tren ini membawa dampak positif bagi demokrasi dan keterbukaan informasi?
Media sosial memang memberikan kemudahan dalam menjangkau publik secara cepat dan langsung. Pejabat dapat mengatur narasi, memilih waktu tayang, serta menyampaikan pesan tanpa perantara. Ini merupakan bagian dari transformasi komunikasi yang tak terelakkan di era digital.
Namun, di balik kepraktisan tersebut, ada aspek penting yang perlu diperhatikan: peran media massa sebagai saluran verifikasi dan kontrol publik. Media massa menjalankan fungsi jurnalisme profesional—memastikan bahwa informasi yang diterima publik telah melalui proses klarifikasi, konfirmasi, dan kontekstualisasi. Ini merupakan salah satu pilar penting dalam demokrasi.
Ketika komunikasi publik hanya dilakukan melalui media sosial, ada risiko informasi menjadi satu arah dan kurang ruang untuk pertanyaan kritis. Di sinilah pentingnya kehadiran media massa sebagai ruang diskusi dan uji publik terhadap kebijakan atau pernyataan pejabat.
Media sosial juga tidak memiliki sistem verifikasi independen seperti yang ada dalam ruang redaksi. Tanpa mekanisme ini, potensi informasi yang bias atau tidak utuh bisa lebih mudah menyebar, meskipun tidak selalu disengaja. Ini membuka ruang bagi miskomunikasi atau misinformasi, yang dalam jangka panjang bisa memengaruhi kepercayaan publik.
Perlu ditegaskan bahwa pemanfaatan media sosial oleh pejabat bukanlah hal yang keliru. Justru, keberadaan mereka di ruang digital sangat dibutuhkan untuk mendekatkan diri kepada masyarakat. Namun demikian, media sosial sebaiknya tidak menggantikan peran media massa. Keduanya dapat saling melengkapi dalam membangun komunikasi publik yang sehat dan transparan.
Pejabat publik idealnya hadir di berbagai kanal informasi, baik digital maupun konvensional. Keterbukaan terhadap pertanyaan dari media dan masyarakat adalah bagian dari akuntabilitas. Demokrasi yang kuat tidak cukup hanya dengan penyampaian informasi, tetapi juga membutuhkan ruang dialog dan kritik yang konstruktif.
Kin PPRI