Demokrasi dalam Timbangan Akidah Islam: Telaah Kritis terhadap Sistem Politik Modern Tanpa Wahyu
Oleh: Dr. Nursalim, S.Pd., M.Pd.
Humas Perkumpulan Muballigh Kota Batam
Demokrasi kerap dipahami sebagai puncak kemajuan politik modern dan dijadikan tolok ukur legitimasi kekuasaan di berbagai negara. Sistem ini tidak hanya berfungsi sebagai mekanisme pemerintahan, tetapi juga diposisikan sebagai standar moral dan simbol kemajuan peradaban. Namun, dalam perspektif akidah Islam Ahlussunnah wal Jamaah, demokrasi tidak dapat diterima begitu saja tanpa kritik mendasar, terutama terkait sumber hukum, kebenaran, dan legitimasi kekuasaan.
Secara historis, demokrasi tidak lahir dari nilai wahyu, melainkan dari dinamika sosial-politik Yunani Kuno. Di Athena, pengisian jabatan publik dilakukan melalui mekanisme undian atau lotre, bukan berdasarkan ilmu, amanah, dan integritas moral. Fakta ini menunjukkan bahwa demokrasi sejak awal merupakan sistem eksperimental yang lahir dari keterbatasan manusia dalam menentukan kebenaran secara objektif (March, 2021:34). Dengan demikian, demokrasi tidak berakar pada nilai absolut, melainkan pada spekulasi kolektif.
Peralihan dari sistem undian menuju pemilihan umum modern pada hakikatnya hanya mengubah metode teknis, bukan substansi ideologis. Kekuasaan tetap ditentukan oleh suara terbanyak, popularitas, dan kekuatan modal. Mayoritas dijadikan ukuran kebenaran, padahal dalam Islam, kebenaran tidak pernah ditentukan oleh jumlah pengikut, melainkan oleh kesesuaiannya dengan wahyu Allah SWT (Kamali, 2021:87).
Dalam demokrasi modern, lembaga legislatif diberi kewenangan penuh untuk menetapkan hukum. Parlemen menjadi otoritas tertinggi dalam menentukan undang-undang yang mengikat seluruh warga negara. Fungsi ini secara filosofis menempatkan manusia sebagai sumber hukum tertinggi. Jika dalam peradaban pagan Yunani peran penentu hukum dipegang oleh dewa-dewa, maka dalam demokrasi modern peran tersebut dialihkan kepada dewan dan wakil rakyat. Pergantian simbol ini tidak mengubah substansi, karena hukum tetap ditetapkan tanpa rujukan wahyu (Hallaq, 2024:112).
Dalam Islam, persoalan ini bukan sekadar masalah tata kelola negara, melainkan menyentuh inti akidah. Prinsip tauhid menegaskan bahwa hukum hanyalah milik Allah SWT, sebagaimana firman-Nya “Inil hukmu illa lillah.” Ketika halal dan haram ditentukan melalui voting, kompromi politik, dan kepentingan mayoritas, maka yang terjadi adalah pergeseran otoritas dari wahyu kepada kehendak manusia (Auda, 2020:55). Fenomena ini menunjukkan terjadinya sekularisasi hukum dalam kehidupan publik.
Demokrasi juga menjanjikan kedaulatan rakyat, namun dalam praktiknya kedaulatan tersebut bersifat simbolik. Rakyat berperan aktif hanya pada saat pemilihan umum, sementara setelah itu kekuasaan terkonsentrasi pada elite politik dan oligarki ekonomi. Banyak kebijakan strategis ditentukan oleh kepentingan modal dan tekanan global, bukan oleh kehendak rakyat secara substantif (Esposito & Voll, 2022:141). Dalam konteks ini, demokrasi lebih berfungsi sebagai legitimasi prosedural daripada alat keadilan sosial.
Dari sudut pandang Islam, sistem politik tidak boleh netral terhadap nilai. Sistem yang lahir dari peradaban tanpa wahyu cenderung melahirkan relativisme moral dan pragmatisme kekuasaan. Demokrasi modern terbukti membuka ruang legalisasi kebijakan yang bertentangan dengan nilai agama hanya karena memperoleh dukungan mayoritas atau dinilai sah secara prosedural (Hasan, 2023:29).
Kritik terhadap demokrasi bukan berarti menolak musyawarah, keadilan, dan partisipasi publik. Islam sangat menekankan prinsip syura, keadilan, dan amanah. Namun, syura dalam Islam bukanlah mekanisme untuk menetapkan kebenaran hukum, melainkan sarana teknis dalam menjalankan hukum Allah. Akal dalam Islam berfungsi untuk memahami dan menerapkan wahyu, bukan menggantikannya (An-Nabhani, 2020:18).
Oleh karena itu, umat Islam perlu disadarkan bahwa demokrasi bukanlah sistem netral dan bukan pula kebenaran mutlak.
Demokrasi adalah produk sejarah manusia dengan segala keterbatasannya. Mengkritisi demokrasi merupakan bagian dari tanggung jawab intelektual dan spiritual agar umat tidak terjebak pada ideologi yang menuhankan sistem buatan manusia (Hallaq, 2024:167).
Masa depan peradaban Islam tidak terletak pada penyesuaian total terhadap sistem sekuler, melainkan pada keberanian membangun tatanan sosial-politik yang berakar pada tauhid, keadilan ilahiah, dan kemaslahatan hakiki. Inilah jalan kesadaran yang harus terus disuarakan oleh para ulama, akademisi, dan muballigh demi menjaga kemurnian akidah dan martabat umat Islam di tengah arus modernitas global.
Daftar Referensi
Auda, J. (2020). Re-Envisioning Islamic Governance. London: IIIT.
An-Nabhani, T. (2020). Nizham al-Hukm fil Islam. Beirut: Dar al-Ummah.
Esposito, J. L., & Voll, J. O. (2022). Islam and Democracy after the Arab Spring. Oxford: Oxford University Press.
Hallaq, W. B. (2024). Reforming Modernity: Ethics and the New Islamic Discourse. New York: Columbia University Press.
Hasan, N. (2023). “Islam, Democracy and the Question of Sovereignty.” Journal of Islamic Studies, 34(1).
Kamali, M. H. (2021). Shariah Law: An Introduction. London: Oneworld.
March, A. F. (2021). Political Islam and Democracy. Oxford: Oxford University Press.



