Petuah Hikmah: Kuburan sebagai Guru Kehidupan
Oleh Dr. Nursalim, S. Pd., M. Pd Ketua Fahmi Tamami Azwaja Kota Batam
Para ulama sejak dahulu sepakat bahwa kelalaian hati adalah penyakit paling berbahaya bagi manusia. Kelalaian tidak selalu hadir dalam bentuk dosa besar, tetapi sering bersembunyi di balik kesibukan, keberhasilan, dan kenyamanan hidup yang tampak wajar. Karena itu, nasihat agar mendatangi kuburan ketika hati mulai lalai bukanlah ajakan emosional, melainkan resep spiritual yang lahir dari pengalaman panjang para ulama dalam mendidik jiwa manusia.
Dalam Syarah Riyadhus-Shalihin, Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa ziarah kubur berfungsi sebagai pemutus ghaflah, pemutus kelalaian hati. Kuburan menghancurkan angan-angan panjang manusia tentang dunia. Ia menghadirkan kenyataan bahwa hidup bukan perjalanan tanpa ujung, melainkan perjalanan yang pasti berakhir dan akan dimintai pertanggungjawaban.
Allah Swt. berfirman, “Setiap jiwa pasti akan merasakan mati, dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah diberikan balasan yang sempurna.” Ayat ini, sebagaimana dijelaskan Ibnu Katsir, merupakan ancaman bagi mereka yang terbuai oleh dunia sekaligus penghibur bagi orang beriman yang hidup dalam kesabaran. Kematian bukan sekadar akhir, tetapi pintu menuju perhitungan yang adil.
Ketika Al-Qur’an menegaskan bahwa bermegah-megahan telah melalaikan manusia sampai masuk ke dalam kubur, para mufasir seperti Imam al-Qurthubi menjelaskan bahwa ayat ini mencela perlombaan dunia yang membuat manusia lupa tujuan hidupnya. Kuburan disebutkan secara tegas karena di sanalah seluruh kesombongan manusia dihentikan tanpa kompromi.
Para penghuni kubur sejatinya sedang memberi pelajaran tanpa suara. Imam Hasan al-Bashri pernah berkata bahwa manusia hanyalah kumpulan hari; setiap hari yang berlalu, sesungguhnya bagian dari dirinya ikut berkurang.
Kuburan menjadi bukti nyata bahwa hari-hari itu benar-benar habis, dan tidak satu pun bisa diulang.
Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menegaskan bahwa ziarah kubur adalah latihan untuk mematikan cinta dunia yang berlebihan. Hati yang terlalu melekat pada dunia akan sulit menerima kebenaran. Kuburan melembutkan hati dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh nasihat lisan semata.
Rasulullah Saw bersabda, “Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan, yaitu kematian.” Hadis ini tidak dimaksudkan untuk mematikan semangat hidup, melainkan untuk meluruskan orientasi hidup.
Orang yang sering mengingat kematian justru akan lebih jujur, lebih adil, dan lebih bertanggung jawab dalam setiap amanah yang dipikulnya.
Dalam tafsir kontemporer, Syekh Wahbah az-Zuhaili menegaskan bahwa kehidupan dunia adalah ladang ujian, bukan tempat beristirahat. Dunia menjadi berbahaya ketika ia diperlakukan sebagai tujuan akhir. Kuburan hadir sebagai peringatan bahwa ladang itu suatu saat akan ditutup, dan masa panen tidak dapat diulang.
Ziarah kubur pada hakikatnya adalah dialog batin antara manusia dan masa depannya sendiri. Ia menumbuhkan rasa takut yang sehat, takut yang berjalan seiring dengan harap kepada rahmat Allah. Takut bukan untuk menjauh, melainkan untuk kembali. Takut kehilangan akhirat, bukan takut kehilangan dunia.
Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa kerasnya hati bersumber dari panjang angan-angan. Kuburan memotong angan-angan itu secara langsung. Ia mengajarkan bahwa penundaan taubat adalah kesalahan yang paling sering disesali oleh para penghuni kubur, tetapi penyesalan itu tidak lagi berguna.
Pada akhirnya, kuburan bukan tempat yang menakutkan bagi orang beriman, tetapi tempat yang menakutkan bagi kelalaian. Ia mengajarkan bahwa hidup harus dijalani dengan kesungguhan, bukan dengan kelengahan. Dunia boleh dicari sebagai sarana, tetapi akhirat harus dijadikan tujuan.
Semoga petuah hikmah ini menundukkan hati yang mulai keras, menyeimbangkan jiwa yang terlalu sibuk mengejar dunia, dan menyadarkan kita bahwa sebaik-baik bekal bukanlah yang paling banyak, melainkan yang paling ikhlas. Karena kelak, saat kita berbaring sendiri di dalam tanah, tidak ada yang menemani kecuali amal dan rahmat Allah Swt.



