Pengalaman Buruk Dengan Polisi Indonesia: Motor Tua Dan Luka Yang Tak Pernah Hilang
Jakarta - Tahun 2001 adalah tahun yang tak akan pernah saya lupakan. Saat itu, saya baru saja diterima bekerja di sebuah perusahaan, pengalaman pertama yang membuat saya merasa hidup mulai menapaki jalan baru. Sebagai anak muda yang masih tinggal bersama orang tua di kawasan Joglo Raya, Jakarta Barat, saya penuh semangat, meski harus bergulat dengan kenyataan bahwa gaji bulanan yang saya terima nyaris tak cukup untuk ongkos, makan, dan sedikit tabungan. Untunglah, orang tua saya selalu setia mendampingi.
Ayah saya adalah sosok pekerja keras yang tak pernah lelah mengayomi keluarga. Dengan penuh kasih, beliau rela mengantar saya berangkat kerja menggunakan sepeda motor tua—vespa butut yang selama ini menjadi andalan keluarga. Motor itu bukan sekadar kendaraan, melainkan simbol perjuangan kami. Ia telah menemani ayah dalam menghidupi warung kecil di depan rumah, mengantar belanja dagang, dan menjadi saksi bisu kehidupan sederhana kami.
Namun, vespa itu menyimpan kelemahan besar: tidak memiliki kelengkapan dokumen resmi. Yang tersisa hanyalah fotokopi STNK dari pemilik sebelumnya dan BPKB asli yang disimpan rapi di rumah. Karena motor itu hanya digunakan di sekitar komplek, kami tak pernah menganggapnya sebagai masalah besar. Tak terpikirkan untuk membawanya jauh ke jalan raya yang rawan razia.
Sampai pada hari Sabtu yang cerah itu. Saya dijadwalkan masuk kerja pada shift siang, pukul 13.00. Ayah bersiap mengantar, dan kami berangkat sekitar pukul 11.30. Rute kami melewati Joglo, Kembangan, Meruya, hingga ke arah Daan Mogot. Perjalanan terasa biasa saja, hingga ayah tiba-tiba berkata lirih, “Apa ya, rasanya ada yang kurang?”
Saya menoleh heran. “Ayah, sudah bawa dompet? STNK?”
Dengan wajah sedikit kaget, ayah menghentikan motor sebentar dan menjawab, “Ya Allah… ayah lupa bawa fotokopi STNK.”
Kami hanya bisa saling pandang. Perasaan was-was mulai muncul, tapi kami tetap berharap perjalanan lancar. Ayah mencoba menenangkan dengan senyum tipis, seolah ingin menguatkan saya.
Namun, harapan itu pupus. Setibanya di kawasan Puri Indah, kami melihat keramaian di jalan. Semakin dekat, ternyata ada razia besar-besaran tepat di depan Jalan Puri Indah, Kembangan. Polisi berseragam cokelat berjajar, mobil patroli terparkir di pinggir, dan barikade jalan menghentikan arus lalu lintas. Puluhan pengendara sudah diperiksa.
Jantung saya berdegup kencang. “Yah, ayo putar balik. Kita kan gak bawa STNK.”
Namun ayah tetap melaju pelan sambil berkata, “Gak apa-apa, kalau ditanya, bilang saja ketinggalan.”
Sesaat kemudian, motor kami dihentikan. Seorang petugas mendekat dan meminta ayah menunjukkan surat kendaraan. Dengan gugup, ayah mengaku STNK tidak terbawa, hanya fotokopi yang ada di rumah.
Petugas lain, sebut saja Polisi B, menanggapi dengan nada datar, “Kami butuh STNK asli, Pak. Kalau tidak ada, bisa bawa BPKB lengkap. Kalau kelengkapan tidak ada di sini, silakan ambil ke rumah. Untuk sementara, motor ini kami tahan dulu.”
Ayah mencoba menjelaskan, bahkan menyebut salah satu polisi yang katanya masih saudara jauh sekampung. Tapi harapan itu kandas. Tidak ada rasa iba, tidak ada pengecualian.
Motor vespa kami lalu diarahkan keluar dari barisan. Seorang petugas menuntunnya bersama beberapa motor lain menuju Polsek Kembangan. Ironisnya, motor itu dibawa tanpa selembar pun bukti atau tanda terima resmi. Seolah barang sitaan bisa diperlakukan sesuka hati.
Ayah terpukul. Wajahnya memerah, bukan karena marah, melainkan kecewa. Saya sendiri hanya bisa diam, tertekan, dan malu. Lebih dari itu, saya gagal masuk kerja hari itu.
Hari itu juga, ayah bolak-balik ke rumah, membawa fotokopi STNK dan BPKB asli. Namun semua usaha itu tak membuahkan hasil. Petugas tetap berkata singkat: “Kalau mau ambil motor, tebus dulu.” Tidak ada penjelasan resmi, tidak ada surat tertulis, hanya tekanan.
Esok harinya, dengan terpaksa ayah meminjam uang kepada tetangga. Jumlahnya memang tidak besar, tapi cukup berat bagi keluarga kami yang hidup pas-pasan. Setelah uang itu dibawa ke Polsek Kembangan, barulah vespa butut kami dikembalikan. Motor memang kembali, tapi harga diri kami terasa runtuh.
Sore itu, saya melihat ayah duduk lama di kursi kayu, memandangi vespa di garasi kecil kami. Sesekali ia menghela napas panjang. Saya tahu, bukan motor itu yang membuatnya sedih, melainkan perlakuan yang mempermalukan rakyat kecil.
Peristiwa itu membekas dalam hidup saya. Dari pengalaman tersebut, saya belajar bahwa hukum seharusnya melindungi, bukan menekan. Polisi idealnya adalah pengayom dan pelindung masyarakat. Tapi hari itu, saya merasakan sebaliknya: tekanan, rasa takut, dan ketidakadilan.
Kini, bertahun-tahun kemudian, setiap kali melihat razia polisi di jalan, hati saya masih teringat pengalaman pahit itu. Pengalaman yang seharusnya tak perlu terjadi jika aparat menjalankan tugas dengan hati nurani dan keadilan.
Harapan saya, Polri ke depan bisa lebih transparan, manusiawi, dan benar-benar berdiri di pihak masyarakat. Polisi tidak seharusnya menjadi momok yang menakutkan, tetapi teladan kejujuran dan perlindungan. Agar anak-anak, orang tua, dan semua warga negara bisa merasa aman, bukan terancam, oleh seragam cokelat yang mereka temui di jalan. _(Sumber Ketum PPWI-Kamidi)_
_Penulis adalah wartawan di Jakarta, peserta lomba menulis bertema “Pengalaman Buruk dengan Polisi Indonesia”. Lomba ini masih dibuka hingga 15 Desember 2025. Informasi lengkap di sini: https://bit.ly/4opwDVZ_




