1 Muharram: Menyulam Jejak Peradaban dari Madinah ke Indonesia Merdeka
jriah, umat Islam di seluruh dunia tak hanya merayakan dimulainya kalender baru, tetapi juga menghidupkan kembali kesadaran akan arti sebuah perjalanan. 1 Muharram bukanlah sekadar angka pertama dalam hitungan tahun, melainkan sebuah pintu masuk menuju perenungan mendalam tentang sejarah, perjuangan, dan transformasi nilai. Di balik perayaan tahun baru Islam, tersembunyi rangkaian peristiwa agung yang telah mengubah arah dunia dan membentuk denyut zaman.
Segalanya bermula ketika Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya menapaki jalan panjang menuju Madinah. Hijrah dari Makkah bukan hanya bentuk penyelamatan fisik, tetapi juga langkah monumental dalam memindahkan pusat dakwah, membentuk tatanan sosial baru, dan membangun komunitas berbasis iman serta keadilan. Dari langkah hijrah itulah lahir fondasi negara pertama dalam sejarah Islam. Kesadaran ini kemudian ditegaskan secara resmi oleh Khalifah Umar bin Khattab RA yang menjadikan momen hijrah sebagai titik awal penanggalan Hijriyah—sebuah keputusan yang tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga sarat makna spiritual dan historis.
Perjalanan waktu membawa 1 Muharram menyentuh berbagai dimensi sejarah. Di masa transisi kekuasaan, bulan suci ini menjadi latar pergantian rezim dari Dinasti Umayyah ke Abbasiyah. Di balik pergantian tersebut, muncul gelombang perubahan yang menandai bangkitnya zaman keemasan Islam. Dari Baghdad, Dinasti Abbasiyah menorehkan warisan intelektual yang tak tertandingi: rumah-rumah ilmu, perpustakaan megah, karya-karya ilmiah yang menjadi referensi dunia. Perubahan itu diawali dengan semangat hijrah, dari kekuasaan yang stagnan menuju peradaban yang mencerdaskan.
Namun, Muharram tak hanya menyimpan cahaya, tetapi juga bayang kelam sejarah. Dalam kenangan yang menggetarkan jiwa umat, wafatnya Khalifah Utsman bin Affan RA membawa gelombang perpecahan besar dalam tubuh kaum Muslimin. Walaupun wafatnya terjadi di penghujung Dzulhijjah, namun luka sejarah itu terbawa hingga Muharram dan membuka bab baru ketegangan politik. Ini menjadi pelajaran penting bahwa hijrah sejati membutuhkan penjagaan ukhuwah, keteguhan moral, dan kesiapan menghadapi fitnah zaman.
Dari jazirah Arab, gema hijrah menembus samudra dan sampai ke tanah air. Dalam lembar sejarah bangsa Indonesia, 1 Muharram memperoleh kedudukan terhormat. Pada 1953, pemerintah Indonesia menetapkan hari tersebut sebagai hari libur nasional. Penetapan ini bukan semata administratif, melainkan pengakuan bahwa nilai-nilai Islam adalah bagian dari denyut nadi kebangsaan. Di tengah semangat pembangunan pasca-kemerdekaan, hadir sosok Ir. Soekarno yang memberikan makna baru pada peringatan 1 Muharram. Dalam pidato bersejarahnya, Bung Karno menyatakan bahwa semangat hijrah adalah bagian dari revolusi Indonesia. Bangsa ini, kata Bung Karno, telah berhijrah dari masa kelam penjajahan menuju cahaya kemerdekaan.
Hijrah, dalam konteks Indonesia, adalah gerak menuju bangsa yang mandiri, adil, dan bermartabat. Dalam semangat 1 Muharram, Bung Karno mengajak rakyat untuk melanjutkan hijrah kolektif: dari kebodohan menuju ilmu, dari kemiskinan menuju kesejahteraan, dari keterbelakangan menuju kemajuan berkeadaban. Pidato itu menjadi pengingat bahwa ruh hijrah tidak lekang oleh waktu; ia hidup dalam setiap langkah perjuangan bangsa.
Kini, di tahun 1447 Hijriah, umat Islam kembali berdiri di persimpangan tahun baru dengan tantangan yang berbeda namun semangat yang sama. Dunia modern menghadirkan ujian baru—individualisme, degradasi moral, krisis lingkungan, dan konflik identitas. Maka 1 Muharram bukan hanya momen perayaan, tetapi seruan untuk hijrah nilai: meninggalkan kebiasaan buruk menuju kehidupan yang lebih bermakna, menjauhi perpecahan menuju persatuan, melampaui ego menuju kepedulian.
Di tengah hiruk-pikuk zaman, 1 Muharram mengajak kita menulis ulang arah hidup. Ia bukan sekadar tradisi, tetapi warisan spiritual yang terus mengalir dalam darah peradaban. Dalam setiap langkah baru yang kita ambil, hendaknya ruh hijrah Nabi dan semangat juang para pemimpin terdahulu menjadi lentera yang menuntun.
Semoga Tahun Baru Islam ini menjadi awal bagi perbaikan diri, penguatan ukhuwah, dan pengabdian yang lebih besar bagi bangsa dan agama. Mari berhijrah, bukan hanya berpindah tempat, tetapi berpindah dari kegelapan menuju cahaya, dari masa lalu yang kelam menuju masa depan yang penuh harapan.
Selamat Tahun Baru 1447 Hijriyah. Mari kita isi langkah baru ini dengan semangat hijrah menuju kehidupan yang lebih beradab dan diridhai Ilahi. (Nursalim Turatea).



